Kamis, 25 April 2013

Curcoldos (Curhat Colongan Dosen)


Jadi dosen itu sulit. Kenapa sulit? Karena yang dihadapi adalah produk dari sistem pendidikan di negara kita, yang dari tingkat terbawah hingga atas masih menitikberatkan pada hasil. Contoh deh, di tingkat sekolah menengah atas (SMA), coba lihat mata pelajaran kimia misalnya. Jaman aku sekolah dulu, belajar reaksi reduksi oksidasi (redoks), tapi ga mengerti apa aplikasi atau implementasi di dunia nyata. Aku rasa masih sama aja kondisinya dengan jaman sekarang. Hanya sekedar mampu membuat persamaan reaksi, bisa memasukkan rumus dan mendapatkan hasil yang benar, tapi ga mengerti apa maknanya. Akibatnya apa? Logika kurang berjalan. Kalau rumus itu diputarbalik, jadi ga mengerti harus diapain. Karena konsep dasarnya ga dipahami. Saat ini juga lagi heboh mengenai UN, yang dianggap tidak efektif sebagai alat evaluasi hasil belajar mengajar siswa. Siswa tidak dipandang sebagai individu yang memiliki minat masing-masing. Kelulusan hanya berdasarkan nilai ujian, tanpa ada komponen penilaian dari proses  belajar di sekolah selama 3 tahun. Lah kalau ada siswa sebetulnya pintar tapi waktu mau ujian tiba-tiba ada musibah terus jadi ga bisa belajar, lalu nilainya jadi jeblok, lalu dia jadi tidak lulus dan harus mengulang lagi tahun depan?

Masalah logika yang tidak berjalan ini aku rasakan setelah aku jadi dosen di perguruan tinggi. Ternyata sulit jg untuk mendorong mahasiswa menggunakan logika karena sistem pembelajarannya dari sejak SD dulu memang tidak dibiasakan. Istilahnya, kita ini generasi menghapal. Padahal tuntutannya sekarang jauh, jauh daripada sekedar menghapal.

Memang tidak bisa dipukul rata. Ada juga sekolah yang bisa mencetak murid-murid cemerlang, tapi ada faktor yang saling berkaitan. Dari muridnya sendiri sudah pintar, dan gurunya memang bisa memotivasi. Tapiiii.....pada umumnya yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan mendiskreditkan profesi guru loh ya, hanya realistis berdasarkan pengalaman dan cerita dari teman-teman yang anaknya sudah bersekolah.

Aku mau sharing sedikit, ceritanya sekarang lagi ikut pelatihan tentang metode pembelajaran, hehehe...
Jadi tujuan pendidikan menurut Bloom itu ada ranah kognitif (berpikir), psikomotor (perbuatan), dan afektif (bersikap/bernilai). Tujuan kognitif itu sendiri  ada beberapa tingkatan, yaitu...
-          Knowledge -> mengingat, menghapal, menyebut
-          Comprehension ->menerangkan, menjelaskan, merangkum
-         Application -> menerapkan, menggunakan konsep prinsip dan prosedur untuk memecahkan masalah
-          Analysis -> memecahkan konsep menjadi bagian-bagian
-          Syntesis -> menggabungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, merancang, mengatur
-          Evaluation ->menilai, menafsirkan

Nah, dari pengamatanku selama mengajar, bahkan saat menjadi penguji ujian lisan, mahasiswa rata-rata baru mencapai tingkatan pertama. Menghapal. Padahal untuk level "mahasiswa", tentu targetnya sudah bukan lagi sekedar mampu menyebutkan, itu mah level anak SMA. Paling tidak, dari hapalan tersebut mahasiswa sudah bisa ke tingkat berikutnya yaitu "comprehend", mampu menjelaskan kembali apa yang sudah dihapalnya. Dengan kata lain. menggunakan nalar, logika dilibatkan.
Yang paling mengenaskan, waktu ujian Skill’s Lab kemarin, yang diuji adalah mahasiswa preklinik (S1) tingkat akhir yang sebentar lagi akan menjadi sarjana kedokteran gigi lalu melanjutkan pendidikan profesi alias KOAS. Begitu ditanya mengenai lesi-lesi karies, hanya sekedar bisa menjawab lesi D1-D6 tapi begitu ditanya lebih mendalam betul-betul blank, diam seribu bahasa.

Kalau sudah begini, semua elemen di ranah pendidikan mau ga mau perlu merefleksikan dan mengintrospeksi diri. Para dosen (pastinya termasuk aku sendiri) mungkin harus mulai bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini metode pengajaran sudah baik? Apakah sekedar menyampaikan materi tanpa mempedulikan apakah materi tersebut dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa? Apakah sudah menjadi dosen yang memotivasi mahasiswa? Karena selama ini yang terjadi, rata-rata siapapun yang menempati posisi sebagai murid (termasuk saya waktu sekolah), mengikuti kelas dan mengerjakan tugas itu adalah beban. Bukan kebutuhan. Padahal kalau dosen bisa berperan sebagai motivator, aku rasa mindset mahasiswa bisa diubah, bahwa semua yang dilakukannya di masa sekolah adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Dia yang butuh, bukan supaya mendapatkan nilai yang tinggi tapi supaya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya, supaya bisa diaplikasikan di masa depan setelah lulus dan terjun ke dunia nyata.

Sebaik apapun silabus dan rancangan program perkuliahan yang  disusun oleh dosen untuk setiap mata perkuliahan yang diajarnya, tidak bisa membuahkan hasil yang baik tanpa didukung oleh mahasiswa yang memang mau belajar. Harus ada timbal baliknya, kan. Dan tentunya harus didukung oleh sistem pendidikan dan kurikulum di sekolah menengah. Bagaimana dengan pembuat kurikulum..?

Aku juga baru menyadari perbedaan antara menjadi guru di sekolah menengah dan di perguruan tinggi begitu besar. Guru di sekolah menengah tidak menyusun silabus sendiri karena hanya mengikuti kurikulum yang telah disusun dari “pusat”. Lain halnya di tingkat perguruan tinggi, dosen menyusun sendiri silabus. Istilahnya nih “Gue mau ngajar apa, gue yang nentuin sendiri.” Mulai dari materi pembelajaran, alokasi waktu, media pembelajaran, metode pembelajaran, itu semua dosen yang mikir sendiri. Berat yah? Iya. Beban moralnya gede, bok. Kita tanggung jawab sama masa depan anak orang. Padahal sih sebenarnya mahasiswa itu harusnya sudah bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Kan umurnya sudah 17 tahun keatas? :D Jadi belajar tuh harusnya ga usah disuruh-suruh lagi, pake acara marah-marah lagi kalau dikasih tugas.
Dari salah satu nara sumber di pelatihan kemarin, ada yang sempat bilang begini..."Lebih baik mandi peluh di medan latihan, daripada mandi darah di medan perang." What a great quote! Khusus di bidangku, kutipan itu bisa diartikan begini, lebih baik kena marah dosen saat praktikum/skill lab karena dituntut bekerja dengan baik, daripada kena marah pasien saat praktek dan bahkan bisa dituntut secara hukum karena kerja asal-asalan karena skill&ilmu kurang dan akhirnya pasien jadi dirugikan. Masih banyak yang harus dibenahi ya? Iya.

Ya gitu deh pokoknya. Intinya saya prihatin -MM- (*SBY style)
Oiya, aku pingin ceritaaa tentang Aceh, kan minggu lalu habis dari sana....Seruu! Next posting, yes...?! ;)


5 komentar:

  1. Ikutan prihatin dok.......hehehe
    Tapi untungnya masih ada dosen yang perduli ttg hal itu,
    Mungkin mahasiswanya zaman kami sudah terbiasa dengan konsep hapalan...
    Jd pengen tahu gmn nanti hasilnya mahasiswa generasi selanjutnya dengan konsep blok yg sudah diasah kreatifitas berfikirnya dr awal lewat tutorial dll..
    ain't got they any better???, hopefully they did ...

    BalasHapus
  2. amiiin..hehehe
    thankyou for reading my blog :)

    BalasHapus
  3. awal tulisannya sih d
    brasa duduk dlm kelas.... ujungnyaaa kya rumpii boook, wkwkww

    BalasHapus
    Balasan
    1. eehh ada om godwin...baca jg lo hihihi... eke kan emg rumpi boookk...:)) kmana aja lo wiiin,...

      Hapus
  4. Athana keyennnn..I'm proud of u sista..muah!!!

    BalasHapus