Jadi dosen itu sulit. Kenapa sulit? Karena yang
dihadapi adalah produk dari sistem pendidikan di negara kita, yang dari tingkat
terbawah hingga atas masih menitikberatkan pada hasil. Contoh deh, di tingkat sekolah menengah atas (SMA), coba lihat mata pelajaran
kimia misalnya. Jaman aku sekolah dulu, belajar reaksi reduksi oksidasi (redoks),
tapi ga mengerti apa aplikasi atau implementasi di dunia nyata. Aku rasa masih sama aja kondisinya dengan jaman sekarang. Hanya sekedar
mampu membuat persamaan reaksi, bisa memasukkan rumus dan mendapatkan hasil
yang benar, tapi ga mengerti apa maknanya. Akibatnya apa? Logika kurang
berjalan. Kalau rumus itu diputarbalik, jadi ga mengerti harus diapain. Karena konsep
dasarnya ga dipahami. Saat ini juga lagi heboh mengenai UN, yang dianggap tidak efektif sebagai alat evaluasi hasil belajar mengajar siswa. Siswa tidak dipandang sebagai individu yang memiliki minat masing-masing. Kelulusan hanya berdasarkan nilai ujian, tanpa ada komponen penilaian dari proses belajar di sekolah selama 3 tahun. Lah kalau ada siswa sebetulnya pintar tapi waktu mau ujian tiba-tiba ada musibah terus jadi ga bisa belajar, lalu nilainya jadi jeblok, lalu dia jadi tidak lulus dan harus mengulang lagi tahun depan?
Masalah logika yang tidak berjalan ini aku rasakan setelah aku jadi dosen di
perguruan tinggi. Ternyata sulit jg untuk mendorong mahasiswa menggunakan logika karena
sistem pembelajarannya dari sejak SD dulu memang tidak dibiasakan. Istilahnya,
kita ini generasi menghapal. Padahal tuntutannya sekarang jauh, jauh daripada
sekedar menghapal.
Memang tidak bisa dipukul rata. Ada juga
sekolah yang bisa mencetak murid-murid cemerlang, tapi ada faktor yang saling
berkaitan. Dari muridnya sendiri sudah pintar, dan gurunya memang bisa
memotivasi. Tapiiii.....pada umumnya yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan
mendiskreditkan profesi guru loh ya, hanya realistis berdasarkan pengalaman dan
cerita dari teman-teman yang anaknya sudah bersekolah.
Aku mau sharing sedikit, ceritanya sekarang lagi ikut pelatihan tentang metode pembelajaran, hehehe...
Jadi tujuan pendidikan menurut Bloom itu ada ranah kognitif (berpikir), psikomotor (perbuatan), dan afektif (bersikap/bernilai). Tujuan kognitif itu sendiri ada beberapa tingkatan, yaitu...
Jadi tujuan pendidikan menurut Bloom itu ada ranah kognitif (berpikir), psikomotor (perbuatan), dan afektif (bersikap/bernilai). Tujuan kognitif itu sendiri ada beberapa tingkatan, yaitu...
-
Knowledge
-> mengingat, menghapal, menyebut
-
Comprehension
->menerangkan, menjelaskan, merangkum
- Application
-> menerapkan, menggunakan konsep prinsip dan prosedur untuk memecahkan
masalah
-
Analysis
-> memecahkan konsep menjadi bagian-bagian
-
Syntesis
-> menggabungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan, merancang, mengatur
-
Evaluation
->menilai, menafsirkan
Nah, dari pengamatanku selama mengajar, bahkan
saat menjadi penguji ujian lisan, mahasiswa rata-rata baru mencapai tingkatan
pertama. Menghapal. Padahal untuk level "mahasiswa", tentu targetnya sudah bukan lagi sekedar mampu menyebutkan, itu mah level anak SMA. Paling tidak, dari hapalan tersebut mahasiswa sudah bisa ke tingkat berikutnya yaitu "comprehend", mampu menjelaskan kembali apa yang sudah dihapalnya. Dengan kata lain. menggunakan nalar, logika dilibatkan.
Yang paling mengenaskan, waktu ujian Skill’s Lab kemarin,
yang diuji adalah mahasiswa preklinik (S1) tingkat akhir yang sebentar lagi
akan menjadi sarjana kedokteran gigi lalu melanjutkan pendidikan profesi alias
KOAS. Begitu ditanya mengenai lesi-lesi karies, hanya sekedar bisa menjawab
lesi D1-D6 tapi begitu ditanya lebih mendalam betul-betul blank, diam seribu
bahasa.
Kalau sudah begini, semua elemen di ranah
pendidikan mau ga mau perlu merefleksikan dan mengintrospeksi diri. Para dosen (pastinya termasuk aku sendiri) mungkin
harus mulai bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini metode pengajaran
sudah baik? Apakah sekedar menyampaikan materi tanpa mempedulikan apakah materi
tersebut dapat diterima dengan baik oleh mahasiswa? Apakah sudah menjadi dosen
yang memotivasi mahasiswa? Karena selama ini yang terjadi, rata-rata siapapun yang
menempati posisi sebagai murid (termasuk saya waktu sekolah), mengikuti kelas
dan mengerjakan tugas itu adalah beban. Bukan kebutuhan. Padahal kalau dosen
bisa berperan sebagai motivator, aku rasa mindset mahasiswa bisa diubah, bahwa
semua yang dilakukannya di masa sekolah adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Dia
yang butuh, bukan supaya mendapatkan nilai yang tinggi tapi supaya mendapatkan
ilmu sebanyak-banyaknya, supaya bisa diaplikasikan di masa depan setelah lulus
dan terjun ke dunia nyata.
Sebaik apapun silabus dan rancangan program perkuliahan
yang disusun oleh dosen untuk setiap
mata perkuliahan yang diajarnya, tidak bisa membuahkan hasil yang baik tanpa
didukung oleh mahasiswa yang memang mau belajar. Harus ada timbal baliknya, kan. Dan tentunya harus didukung
oleh sistem pendidikan dan kurikulum di sekolah menengah. Bagaimana dengan pembuat kurikulum..?
Aku juga baru
menyadari perbedaan antara menjadi guru di sekolah menengah dan di perguruan tinggi
begitu besar. Guru di sekolah menengah tidak menyusun silabus sendiri karena
hanya mengikuti kurikulum yang telah disusun dari “pusat”. Lain halnya di
tingkat perguruan tinggi, dosen menyusun sendiri silabus. Istilahnya nih “Gue
mau ngajar apa, gue yang nentuin sendiri.” Mulai dari materi pembelajaran,
alokasi waktu, media pembelajaran, metode pembelajaran, itu semua dosen yang
mikir sendiri. Berat yah? Iya. Beban moralnya gede, bok. Kita tanggung jawab
sama masa depan anak orang. Padahal sih sebenarnya mahasiswa itu harusnya sudah
bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Kan umurnya sudah 17 tahun keatas? :D Jadi
belajar tuh harusnya ga usah disuruh-suruh lagi, pake acara marah-marah lagi kalau dikasih tugas.
Dari salah satu nara sumber di pelatihan
kemarin, ada yang sempat bilang begini..."Lebih baik mandi peluh di medan latihan, daripada mandi darah di medan perang." What a great quote! Khusus di bidangku, kutipan itu bisa diartikan begini, lebih baik kena marah dosen saat praktikum/skill lab karena dituntut bekerja dengan baik, daripada kena marah pasien saat praktek dan bahkan bisa dituntut secara hukum karena kerja asal-asalan karena skill&ilmu kurang dan akhirnya pasien jadi dirugikan. Masih banyak yang harus dibenahi ya? Iya.
Ya gitu deh pokoknya. Intinya saya prihatin -MM- (*SBY style)
Oiya, aku pingin ceritaaa tentang Aceh, kan minggu lalu habis dari sana....Seruu! Next posting, yes...?! ;)